Kisahkegigihannya mencari ilmu adalah sejarah kesedihan dan Jikamenemukan faidah (ilmu) baru beliau tulis dalam kertas tersendiri hingga terkumpul suatu pokok bahasan tertentu. Bersama Ilmu hingga Menjelang Ajal Abu Zur'ah ar-Raziy ketika menjelang ajal dijenguk oleh sahabat-sahabatnya ahluk hadits. Mereka mengisyaratkan hadits tentang talqin Laa Ilaha Illallah. Hingga Abu Zur'ah berkata, RumahZakat Salurkan Bantuan dan Pendampingan Pelaku Usaha. Berikut ini adalah beberapa kisah ulama salaf dalam mencari ilmu: 1. Jabir bin Abdullah. Dalam kitab Shahih Bukhari, disebutkan bahwa Jabir melakukan perjalanan selama satu bulan untuk menemui Abdullah bin Anis demi memperoleh salah satu hadits dari shahih Bukhari. 2. Ibnu Abbas. dTuA5. Ilustrasi Kisah Nabi. Foto dok PexelsAbdullah bin Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang dikenal dengan ketekunannya dalam menuntut ilmu. Untuk mengetahui kisah Abdullah bin Abbas sebagai sahabat Nabi yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi dapat Anda ketahui dalam ulasan singkat berikut Sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas dan Ketekunannya Dalam Menuntut IlmuSeperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, Abdullah bin Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang sangat dikenal di kalangan umat Islam. Sahabat Nabi yang memiliki julukan atau nama lain Ibnu Abbas ini juga merupakan sepupu Nabi Muhammad yang memiliki jarak umur yang cukup jauh dari Nabi Abbas dikenal sebagai sahabat Nabi yang berpengetahuan luas yang juga memiliki ketekunan dan rasa ingin tahu yang tinggi sehingga tak heran jika cukup banyak hadis shahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas. Abdullah bin Abbas lahir setelah 10 tahun Nabi Muhammad menjalankan dakwah untuk menyebarkan agama buku berjudul Dahsyatnya Ibadah, Bisnis, dan Jihad Para Sahabat Nabi yang Kaya Raya karya Ustadz Imam Mubarok Bin Ali 2019162 memaparkan bahwa Abdullah bin Abbas selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini diketahui pada saat Nabi wafat. Meski ditinggal Nabi dalam umur yang cukup dini yaitu umur 13 tahun, Abdullah bin Abbas tidak putus harapan untuk terus menggali pengetahuan yang ingin bin Abbas selalu mencoba mendatangi sahabat Nabi untuk menanyakan segala sesuatu yang ingin diketahuinya, yaitu tentang ajaran Islam dan hal-hal yang berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW. segala kesempatan digunakannya dengan cermat hanya untuk mendapatkan ilmu dari sahabat Nabi yang telah bersama Nabi lebih lama rasa ingin tahu yang dimiliki Abdullah bin Abbas ini harus kita teladani karena dengan semakin banyak ilmu yang kita ketahui maka semakin banyak juga hal-hal yang dapat kita kerjakan seperti amalan-amalan berpahala. Tak hanya itu, pengetahuan tentang Islam juga wajib dicari karena mencari ilmu merupakan kewajiban tiap-tiap umat islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi pada hadis berikut iniطَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍArtinya ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu MajahPemaparan mengenai kisah Abdullah bin Abbas dapat Anda jadikan sebagai nasihat dan juga wawasan serta pengingat untuk terus menuntut ilmu hingga ajal menjemput. DA Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I al-Muththalibi al-Qurasyi atau lebih terkenal dengan sebutan Imam Syafi’I merupakan tokoh agama islam yang mempunyai peran penting. Beliau merupakan pendiri dari mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri dari mazhab Syafi’i. Beliau juga masih tergolong dalam kerabat Rasulullah yang masuk di Bani Muththalib atau keturunan al-Muththalib, saudara dari Hasyim atau kakek dari Muhammad. Imam Syafi’I lahir pada tanggal 767 M/150 H yang bertempat di Gaza, Palestina. Ibu dari Imam Syafi’I bernama Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah dan ayahnya bernama Idris bin Abbas. Kisah dari iman Syafi’I tentunya merupakan sebuah hal yang dapat diteladani oleh setiap muslim yang ada di dunia. Saat Ayah dan ibunya sedang melakukan sebuah perjalanan cukup jauh dengan menuju kampung Gaza Palestina. Dimana kampung tersebut merupakan tempat berperang membela negeri islam yang berada di kota Asqalan. Sang ayah sudah nama yang begitu indah dimana akan diberikan nama Muhammad jika anaknya laki-laki dan menambahkan nama salah satu seorang kakeknya, yaitu Syafi’I bin Asy-Syaib. Saat usia 2 tahun ayahnya meninggal dunia, disitulah perjalanan yang membuat imam syafi’I menjadi penduduk di Mekkah. Beliau tumbuh besar disana sebagai anak yatim, namun meskipun begitu beliau merupakan seorang anak yang pandai. Hal tersebut terbukti sejak kecil beliau mudah dan cepat menghafal syair, pandai berbahasa Arab, dan Sastra. Imam syafi’I juga dikenal sebagai imam bahasa arab. Perjalanan Imam Syafi’I dalam Menuntut Ilmu yang Harus Diteladani Cerita Imam Syafi’I saat Belajar di Mekah Saat usianya mencapai 15 tahun Imam Syafi’I mulai menuntut ilmu fiqih kepada mufti dan itulah awal dari pendidikannya. Saat diusia 15 tahun Muslim bin Khalid Az Zanji mengizinkannya memberikan fatwah. Ini dilakukan agar imam syafi’I bisa merasakan manisnya menuntut ilmu, dengan izin Allah dan hidayah-Nya beliau. Setelah mendapatkan hidayah dari Allah beliau menjadi senang menuntut ilmu fiqih dan syair dalam bahasa arab. Ada banyak sekali guru yang dijadikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu dan Guru Imam Syafi’I lainnya bisa disebutkan secara jelas satu persatu. Beberapa guru dari imam syafi’I di antaranya yaitu Muhammad bin Ali bin Syafi’I, Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Sufyan bin , Fudhail bin Al-Ayyadl, Sufyan bin Uyainah, Sa’id bin Salim, Abdurrahman bin Abi Bakr al-mulaiki, dan lainnya di Mekkah karena beliau tidak pernah merasa cukup dalam menimba atau memperdalam ilmu. Belajar di Madinah Imam Syafi’I merupakan seorang yang haus akan ilmu dan hal tersebut membuat beliau melanjutkan pendidikannya dengan pergi ke Madinah. Di Madinah imam Syafi’I berguru kepada Imam Malik bin Anas untuk mendalami ilmu fiqih. Beliau saat berguru kepada Imam Malik mampu menghafal kitab Muwattha’ hanya dalam 9 malam. Beliau juga meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Syafi’I, Fudhail bin Iyadl, Sufyan bin Uyainah, dan lainnya. Dalam majelis tersebut imam syafi’I mampu menghafal dan memahami kitab Muwattha’ dengan baik. sehingga membuat As-Syafi’I mengaguminya. Beliau juga mengagumi guru-gurunya diantaranya, Imam Malik bin Anas dan Imam Sufyan bin Uyainah, Belajar di Yaman, Baghdad, dan Mesir Kisah Imam Syafi’I dalam menuntut Ilmu tidak sampai di Madinah saja, beliau melanjutkan ke Yaman. Baghdad, dan Mesir. Saat pergi ke Yaman beliau tidak hanya menunut ilmu, tetapi juga bekerja sementara waktu. Sederet ulama yang pernah dikunjungi Imam Syafi’I saat di Yaman di antaranya, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli, Mutharrif bin Mazin, dan masih banyak lainnya. Kemudian, beliau melanjutkan perjalanannya ke Irak Baghdad untuk menimba ilmu ke Muhammad bin Hasan. Saat di Irak beliau menulis Madzhab qaul qadim dan saat ke Mesir 200 H menulis yang baru, yaitu qaul jadid. Beliau meninggal saat akhir bulan Rajab 204 H dan dikenal sebagai syuhadaul ilm. Murid Imam Syafi’i Dengan bekal ilmu yang beliau punya tidak meluputkannya menjadi ulama besar yang mempunyai banyak murid. Di antara banyaknya Murid Imam Syafi’i yang paling menonjol adalah murid yang berada di Mesir dan Irak. muridnya yang berada di Mesir ada 3, yang pertama bernama Al Muzanniy yang nama aslinya Isma’il bin Yahya al Muzanniy lahir pada tahun 175 H. Al Muzanniy meninggal pada tahun 254 H, ia menuntut ilmu kepada Imam Syafi’I mulai awal datang ke Mesir sampai beliau wafat. Ia dianggap beberapa Syafi’iyah sebagai mujtahid mutlak yang disebabkan adanya beberapa perbedaan pikiran atau pandangan dengan Imam Syafi’i dalam menghadapi masalah. Al Muzanniy memiliki karya yang bernama Mukhtashor Al Muzanniy yang kemudian dicetak sebagai kaki catatan dari kitab Al Umm. Murid kedua bernama Al Buyuthiy atau Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al Buyuthiy. Dalam berfatwa terkadang Imam Syafi’I meminta pendapatnya untuk berfatwa dan ia juga memiliki Mukhtashor Al Buyuthiy, serta menjadi murid yang senior. Dan yang terakhir Ar Robi’ bin Sulaiman Al Marodiy yang merupakan periwayat kitab Al Umm dan menyalinnya kitab tersebut saat Imam Syafi’I masih hidup. Sedangkan murid yang berada di Irak ada 2 yang menonjol, yaitu Al Hasan bin Muhammad yang wafat tahun260 H dan Abu Ali Al Husain bin Ali yang wafat tahun 264 H. Keteladanan Imam Syafi’I dalam Menuntut Ilmu Dalam Cerita Ulama yang satu ini tentunya terdapat Kisah Teladan Menuntut Ilmu yang dapat ditiru dari Imam Syafi’i. Beliau dalam menuntut ilmu pernah mengalami masalah, seperti mengalami kesulitan dalam menghafal. Beliau menceritakan masalahnya kepada sang guru yang bernama Imam Waqi’. yang kemudian sang guru menasihatinya dengan mengajarkan jika ingin mudah dalam menimba ilmu harus menjauhi perbuatan dosa. karena ilmu yang dicari adalah cahaya dari Allah yang bila sering dan senang berbuat dosa tidak akan mendapatkannya. dari kisah beliau bimbingan dari seorang guru adalah hal yang penting dalam menuntut ilmu, jangan merasa dirinya sudah pintar. Serta jangan sungkan bertanya kepada guru atau meminta sarannya bila sedang mendapatkan masalah. dan yang terakhir memahami kemuliaan dari ilmu yang merupakan warisan dari para Nabi. Dari Kisah Perjuangan Menuntut Ilmu Imam Syafi’I kita bisa mendapatkan pelajaran dalam mencari ilmu. Itulah Kisah Ulama dalam Menuntut Ilmu yang bisa diambil keteladanannya yang bernama Imam Syafi’I sehingga lebih mengetahui perjalanan hidup seorang ulama besar. zakat atau infaq adalah kegiatan yang penting dan wajib bagi seorang muslim yang berkecukupan untuk melakukannya. zakat atau infaq diberikan kepada orang yang membutuhkan, seperti orang miskin, yatim piatu, dan lainnya. untuk menyalurkan atau memberikan Infaq atau zakat bisa melalui Sahabat Yatim yang siap dan amanah dalam menyalurkan bantuan atau zakatnya. Oleh Hannan Majid Purwokerto, Takhasus Kisah para sahabat terdahulu amatlah pantas untuk kita ambil pelajaran dan motivasi darinya. Membaca kisah mereka akan menambah iman dan melejitkan semangat, biidznillah. Di antaranya adalah kisah yang akan kita renungi ini. Kisah penggugah kesabaran yang insya Allah akan melambungkan semangat kita dalam menuntut ilmu. Namun sebelum membaca kisah tersebut, alangkah baiknya jika sedikit mengulas tentang kesabaran dengan makna yang luas. Kesabaran, Sebuah Amalan Besar Sabar, sebuah kata yang mudah diucapkan, sering terdengar, namun sangat berat untuk mengamalkannya. Sabar, sebuah nasihat yang mungkin sudah pernah tertulis berulang kali dalam artikel para santri. Bosan memang, kalau kita terus membaca dan mendengarkan nasihat ini. Namun karena pentingnya sabar dalam hidup seorang mukmin, tak mengapa lah kita kembali mengulangnya agar menjadi pengingat bagi kita semua. Sabar itu konsekuensinya berat, menahan hati, lisan, dan anggota badan dari hal-hal yang haram yang biasanya jiwa kita malah cenderung menginginkannya. Atau menahan diri dan menerima hal-hal tidak mengenakkan yang menimpa kita. Tidak hanya itu, bahkan terkadang untuk bersabar kita harus mengorbankan perasaan. Tak heran, Allah menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang mampu bersabar. Dalam ayat-Nya Dia mengatakan, إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Az-Zumar 10 Sabar bagi seorang mukmin merupakan suatu keharusan, yang selalu menemani dan mengiringinya di saat musibah itu datang menghadang. Itulah yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam sabdakan, عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Betapa menakjubkannya urusan seorang mukmin, semua urusannya baik. Dan hal itu tidak ada pada selain mereka. Apabila kebahagiaan menghampirinya, ia bersyukur, maka itu kebaikan baginya. Apabila musibah datang menimpanya, ia bersabar, maka itu pun kebaikan baginya.” HR. Muslim no. 2999 Memang benar, sabar itu selalu ada di saat ujian menimpa mereka, di setiap waktu dan tempat. Namun yang lebih dari itu adalah sabar dalam thalabul ilmi, di saat mempelajari ilmu agama. Kenapa? Karena thalabul ilmi adalah amalan yang besar, panjang perjalanannya, tidak hanya selesai dalam dua atau tiga tahun saja. Di sana perlu perjuangan sekuat tenaga untuk tetap istikamah dan tegar dalam menghadapi berbagai rintangan dan lika-liku yang ada. Jauhnya dari orang tua dan kerabat, minimnya harta, kurangnya kemampuan dalam menghafal dan memahami, gangguan teman, kerasnya sikap guru, dan seabrek halangan lainnya. Sekarang, marilah kita membaca kisah penggugah kesabaran, yang semoga dapat menjadi inspirasi bagi kita semua. Klik laman selanjutnya di bawah Baca Juga Spirit Thalabul Ilmi 1. Jabir bin Abdullah2. Syekh Ibrahim Al Misr3. Imam As Sarkhawi4. Ali bin al-Hasan bin Syaqiq5. Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, sahabat Malik dan Laits SAHABAT mulia Islapos, muslim dituntut untuk senantiasa menimba ilmu, sebagaimana ulama-ulama terdahulu. Mereka gigih menuntut ilmu. Siapa dan bagaimana para ulama tersebut menuntut ilmu? Lantas, apa keutamaan menuntut ilmu hingga kedudukannya begitu penting dalam Islam? Para ulama enggan menyia-nyiakan waktu hidupnya sedikitpun. Mereka gigih dalam menuntut ilmu kendatipun harus menempuh perjalanan yang jauh. Berikut beberapa ulama tersebut 1 Jabir bin Abdullah Jabir bin Abdullah sangat tertarik dengan sebuah hadis yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka pada abad ke-1 H itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Nabi SAW itu. Sayangnya, orang yang meriwayatkan hadis itu telah hijrah dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz, sekarang masuk wilayah Arab Saudi. Periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. 2 Syekh Ibrahim Al Misr Syekh Ibrahim Al Misr tetap menuntut ilmu kendatipun harus menempuh perjalanan dari Mesir ke Madinah untuk mengaji kepada Imam Malik hingga 18 tahun. 3 Imam As Sarkhawi Imam As Sarkhawi selalu mengikuti kemanapun gurunya yakni Ibnu Hajar al Asqalani. Dia tak mau terlewatkan satu pun fadilah ilmu yang disampaikan gurunya itu. 4 Ali bin al-Hasan bin Syaqiq Ali sering kali tak tidur di malam hari. Pernah suatu ketika, gurunya, Abdullah bin al-Mubarok, mengajaknya ber- muzakarahketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuacanya sangat tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan. 5 Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, sahabat Malik dan Laits Demi menemukan persoalan dan hendak mencari jawabannya dari Malik bin Anas, Abdurahman bin Qasim kerap mendatangi Malik tiap waktu sahur tiba agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang Ibnu al-Qasim membawa bantal dan tidur di depan rumah Malik. BACA JUGA Syaikh Ahmad Izzah Al-Andalusy, Kisah Algojo yang Jadi Ulama Besar Masih banyak lagi contoh kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut, dalam riwayat lain Rasulullah SAW mengatakan, umat akan terus tegak dalam menjalankan perintah Allah SWT. Tidak akan ada yang bisa memberikan kemudaratan pada mereka sampai hari kiamat. Ada beragam penjelasan ulama dalam memaknai umat. Sebagian ulama ada yang menyebut adalah mereka yang berpegang teguh kepada sunnah ajaran Nabi Muhammad SAW. Sementara itu, Imam Bukhari berpendapat yang dimaksud adalah ahli ilmu. Sedangkan menurut Imam Ahmad kata umat dalam hadits tersebut adalah ahli hadits. Namun, kebanyakan ulama sependapat dengan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa yang dimaksud umat disitu adalah orang-orang mukmin baik itu ahli hadits, ahli fiqih, ahli jihad, ahli zuhud, dan dalam bidang lainnya yang menyebar keberadaannya di tengah orang-orang mukmin lainnya. Menurut habib Abubakar, orang-orang yang duduk di majelis ilmu telah mendapatkan taufik dari Allah SWT. Artinya Allah SWT menghendaki kebaikan pada orang-orang yang duduk di majelis ilmu sehingga mudah masuk ke dalam surga. Sementara itu Habib Abubakar mengatakan dalam riwayat lain terdapat hadits yang menerangkan bahwa barangsiapa yang Allah SWT kehendaki mendapatkan kebaikan maka orang itu akan mendapatkan diberikan pemahaman oleh Allah SWT untuk mengerti tentang ilmu agama. Habib Abubakar mengatakan kebaikan yang dikehendaki Allah SWT pada orang-orang yang mau menuntut ilmu adalah segala macam kebaikan baik itu kebaikan dunia dan akhirat. Maka orang yang memahami ilmu agama tanda dikehendaki Allah SWT untuk mencapai husnul khatimah. Oleh karena itu dalam riwayat tersebut ditegaskan juga bahwa ilmu itu diperoleh dengan proses belajar atau upaya terus menerus dalam thalabul ilmi. “Tidak bisa orang dapat ilmu dengan duduk saja, tirakat saja, kemudian nunggu ilmu laduni. Untuk dapat ilmu laduni itu harus belajar dulu. Giat belajar, ngaji nanti diberkan futuh, dibukakan Allah SWT baru diberikan ilmu laduni,” jelas Habib Abubakar Assegaf dalam pengajian rutin di Masjid Agung Al Anwar Kota Pasuruan yang juga disiarkan Sunsal TV media resmi Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah yang dipimpin Habib Taufiq bin Abdul Qodir Assegaf. Dalam riwayat lainnya, Habib Abubakar menjelaskan bahwa duduknya seorang hamba di majelis ilmu lebih baik dibanding melaksanakan ibadah sunnah selama enam puluh tahun. Ini menunjukan besarnya keutamaan menuntut ilmu hingga bobot pahalanya lebih besar dari menjalankan ibadah sunah berpuluh-puluh tahun. [] SUMBER REPUBLIKA Para ulama dari generasi terdahulu salaf menunjukkan contoh yang luar biasa dalam mencari ilmu. Di tengah keterbatasan, mereka tidak menyerah. Tekadnya tidak tergoyahkan untuk belajar agama Islam. Seperti dinukil dari kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam Bukhari, kesungguhan dalam menuntut ilmu ditunjukkan Jabir bin Abdullah. Pada suatu kali, ia amat tertarik pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka dari abad pertama Hijriyah itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Rasulullah SAW itu. Sayangnya, sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis tersebut telah hijrah dari Jazirah Arab dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz. Bagaimanapun, periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. Jabir adalah satu dari sekian banyak contoh, betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Dalam hal ini, sang alim merasa bertanggung jawab untuk menemukan kebenaran dari sebuah hadis yang didengarnya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya. Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, adakalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala, berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka. Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama. Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf zaman dulu sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan ke sungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini. “Apa gunanya mereka para ulama bersusah payah?” tanya Abu Ghaddah retoris dalam karyanya itu. Ia pun melakukan penelusuran. Berdasarkan pembacaannya, banyak kisah kegigihan ulama salaf yang membuatnya takjub. Mereka sangat inspiratif. Rela bersusah payah Selain menceritakan kisah perjalanan Jabir Abdullah, Abu Ghaddah juga mengutip cerita Ali bin al-Hasan bin Syaqiq. Ulama ini menuturkan perjuangannya saat menimba ilmu kepada sang guru yang bernama Abdullah bin al-Mubarok. Ali mengungkapkan, pada masa dirinya sebagai murid sering kali ia tak tidur pada malam hari. Pernah suatu ketika, sang guru mengajaknya ber-muzakarah ketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuaca sedang tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan subuh. Ada pula kisah Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, seorang sahabat Malik dan Laits. Tiap kali menemukan persoalan dan hendak mencari jawaban, dia mendatangi Malik bin Anas tiap waktu sahur tiba. Agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Bahkan, pernah suatu kali karena terlalu lelap tidur, Ibnu al-Qasim tidak menyadari bahwa Malik telah keluar rumah menuju masjid. Suatu ketika, kejadian itu terulang sampai pembantu Malik menendangnya dan berkata, “Gurumu telah keluar meninggalkan rumah, tidak seperti kamu yang asyik tertidur!” Seorang hakim terkemuka dari Mesir, Abdullah bin Lahiah, punya kisah tersendiri. Ia dikenal sebagai ahli hadis yang banyak mempunyai riwayat. Pada 169 H, ia tertimpa musibah. Buku-buku catatannya terbakar. Peristiwa ini memilukan hati Ibnu Lahiah. Betapa tidak, akibat kejadian itu, ingatan dan kekuatan hafalan hadisnya mulai berkurang. Sejak saat itu, banyak terdapat kesalahan dalam keriwayatannya. Sebagian pakar dan ahli hadis menyimpulkan, riwayat-riwayat yang diperoleh dari Ibnu Lahiah sebelum peristiwa terbakarnya buku-buku itu dianggap lebih kuat jika dibandingkan dengan riwayat yang diambil dari Ibnu Lahiah pascamusibah tersebut. Merasa prihatin dengan kejadian itu, al-Laits bin Sa'ad al-Mishri memberikan uang sebesar dinar kepada Ibnu Lahiah. Namun, seperti halnya pandangan para ulama, uang dalam nominal berapapun tak dapat menggantikan catatan-catatan ilmu yang telah lenyap.

kisah para sahabat dalam menuntut ilmu